cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Published by Universitas Airlangga
ISSN : 19784279     EISSN : 25494082     DOI : 10.20473
Core Subject : Health, Science,
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014" : 12 Documents clear
Non Bullous Congenital Ichthyosiform Erythroderma Lita Setyowatie; Iskandar Zulkarnain
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (901.839 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-8

Abstract

Background: Non bullous congenital ichthyosiform erythroderma (NBCIE) is an inherited genodermatosis, very rare autosomal recessive inflammatory ichthyosis, chronic, characterized by dryness and scaling. Purpose: To describe the clinical manifestations of NBCIE since it is a rare case, occurs in 1 in 300.000 people. Case: Baby MR 5 month old, Javanese boy, with main complaint white scale and redness patches on almost all of his body since 1.5 month old. Born as collodion baby, then the membrane was slowly thinning and became generalized erythroderma on almost all of his body accompanied with fine white scale, large, thick, plate-like scale only on lower leg. No ectropion and eclabium. No relatives in the pedigree suffer from the same disease. Histopathology examination showed non-bullous congenital ichthyosiform erythroderma. Case management: Emollient after bath and pH balance soap. Conclusions: Diagnosis of NBCIE is established from history taking, clinical features, and histopathology examination. Emollient therapy and pH balance soap will eventually lead to improvement.Key words: non bullous congenital ichthyosiform erythroderma, genodermatosis, collodion baby.
Peeling Asam Glikolat pada Pasien Photoaging Pedia Primadiarti; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (102.676 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Penuaan kulit memiliki dua komponen, yaitu penuaan secara intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik yang paling penting dalam proses penuaan adalah sinar matahari yang disebut dengan photoaging. Salah satu terapi photoaging adalah pengelupasan kimiawi dengan menggunakan asam glikolat (AG). Tujuan: Mengevaluasi gambaran, distribusi, diagnosis pasien photoaging, pelaksanaan dan hasil akhir pelaksanaan peeling AG pasien photoaging di IRJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2008-2010. Metode: Studi retrospektif dari data rekam medis pada kunjungan baru pasien photoaging selama periode 2008-2010. Dicatat data dasar, diagnosis, pengobatan sebelum peeling, proses pelaksanaan peeling dan evaluasi hasil peeling. Hasil: Jumlah pasien yang menjalani peeling dengan menggunakan AG adalah 159 orang, terbanyak berumur 31-40 tahun, keluhan paling banyak adalah ingin mencerahkan kulit dan kulit kusam. Pemeriksaan fisik yang paling banyak ditemukan adalah perubahan pigmen. Interval pelaksanaan peeling sebagian besar adalah 4 minggu. Simpulan: Peeling dengan AG merupakan salah satu terapi pilihan untuk photoaging di RSUD Dr. Soetomo terutama untuk kasus photoaging Glogau 1 dan 2. Pelaksanaan yang baik dan kepatuhan pasien merupakan faktor yang menentukan hasil peeling.Kata kunci: peeling, photoaging, retrospektif.
Studi Retrospektif: Vaginosis Bakterial Agustina Tri Pujiastuti; Dwi Murtiastutik
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (127.243 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-7

Abstract

Latar belakang: Vaginosis bakterial (VB) adalah sindrom klinis akibat pergantian Lactobacillus spp. penghasil hidrogen peroksidase (HO) dalam vagina normal dengan bakteri anaerob konsentrasi tinggi, Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma 22hominis. VB merupakan penyebab keluhan duh tubuh vagina dan keputihan berbau, namun 50% pasien VB tidak memberikan gejala apapun. Tujuan: Mengevaluasi gambaran umum kasus baru VB di Divisi Infeksi Menular Seksual (IMS) Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2007-2011. Metode: Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan melihat catatan medik kasus baru VB yang meliputi data dasar, anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hasil: Jumlah kasus baru VB adalah 35 pasien dari 33.201 (0,1%) kunjungan baru URJ Kesehatan Kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dengan kelompok usia terbanyak 25-44 tahun sebesar 26 (74,3%) pasien dan 31 pasien (88,6%) sudah menikah. Keluhan utama terbanyak berupa duh tubuh vagina tanpa keluhan subjektif yaitu sebanyak 16 (45,7%) pasien. Duh tubuh vagina terbanyak berbentuk serosa pada 25 (71,4%) pasien. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan clue cell pada 100% kasus. Obat yang paling banyak diberikan berupa metronidazol. Simpulan: Gambaran umum kasus baru VB di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan insidensi kecil, sebagian besar pada kelompok usia seksual aktif dan keluhan utama terbanyak yaitu duh tubuh vagina tanpa disertai keluhan subjektif lainnya.Kata kunci: vaginosis bakterial, keputihan, bau, clue cell.
Profil Pasien Kusta Baru pada Anak I G.A. Kencana Wulan; Indropo Agusni; Cita Rosita
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.047 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Kusta hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Kusta pada anak merupakan indeks epidemiologis untuk menentukan transmisi penyakit serta sebagai salah satu indikator dalam keberhasilan program pemberantasan penyakit kusta nasional. Tujuan: Mengevaluasi profil pasien kusta pada anak. Metode: Penelitian retrospektif terhadap semua kasus kusta baru pada anak (0-14 tahun) yang datang ke Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo Surabaya mulai Januari 2009 sampai Desember 2011. Hasil: Didapatkan 37 pasien anak (5,5%) dari 677 kasus kusta baru. Kasus paling banyak (70,3%) terdapat pada kelompok usia 10-14 tahun. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Berdasarkan klasifikasi WHO, sebanyak 29 kasus (78,4%) adalah kusta multibasiler (MB) dan 8 kasus (21,6%) adalah kusta pausibasiler (PB). Tipe terbanyak adalah kusta tipe BB (59,5%) pada kelompok MB dan diikuti tipe TT (16,2%) pada kelompok PB. Seluruh kasus mendapat pengobatan Multidrug Therapy (MDT) sesuai panduan WHO. Kontak serumah didapatkan 68,7% kasus. Simpulan: Ditemukan 37 kasus kusta baru pada anak di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tiga tahun, terutama pada kelompok umur 10-14 tahun, dengan kasus terbanyak berupa kusta MB tipe BB. Kontak serumah masih memegang peranan yang penting pada transmisi kusta.Kata kunci: kusta, anak-anak, retrospektif.
Uji Difusi Sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae pada Servisitis Gonore tanpa Komplikasi Astindari Astindari; Hans Lumintang,; Trisniartami Setyaningrum
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (101.151 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-5

Abstract

Latar belakang: Gonore merupakan salah satu infeksi menular seksual yang sering ditemukan. Resistensi terhadap beberapa antibiotik banyak ditemukan dalam beberapa tahun terakhir. Sefalosporin generasi ketiga seperti sefiksim dan seftriakson merupakan pilihan terapi lini pertama di berbagai negara, namun penurunan kepekaan sefiksim sudah ditemukan dan mulai menyebar. Tujuan: Mengevaluasi kepekaan sefiksim terhadap Neisseria gonorrhoeae secara difusi. Metode: Penelitian laboratorium yang bersifat deskriptif observasional, potong lintang mulai November 2012-Januari 2013. Terdapat 12 isolat N. gonorrhoeae dari 68 sekret serviks yang dilakukan uji kepekaan sefiksim secara difusi. Hasil: Uji kepekaan sefiksim secara difusi terhadap N. gonorrhoeae didapatkan 3 dari 12 isolat (25%) resisten terhadap sefiksim dan 9 dari 12 isolat (75%) sensitif terhadap sefiksim. Empat dari 9 isolat (44,5%) yang sensitif terhadap sefiksim mempunyai zona hambat dengan diameter 31 mm yang merupakan batas kemampuan sefiksim untuk menghambat pertumbuhan N. gonorrhoeae. Simpulan: Ditemukan strain N. gonorrhoeae yang menunjukkan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berupa uji kepekaan secara dilusi untuk mengetahui adanya peningkatan resistensi N. gonorrhoeae terhadap sefiksim.Kata kunci: sefiksim, uji kepekaan secara difusi, N.gonorrhoeae.
Profil Uji Tempel pada Pasien Dermatitis Kontak Anggraeni Noviandini; Cita Rosita Sigit Prakoeswa
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.788 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-7

Abstract

Latar belakang: Prevalensi Dermatitis Kontak (DK) di Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir. Identifikasi penyebab dengan uji tempel penting untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat pada pasien tersebut. Sampai saat ini penelitian mengenai prevalensi dan insidensi DK di Indonesia masih terbatas. Tujuan: Menentukan prevalensi dan interpretasi hasil uji tempel positif terhadap alergen yang dicurigai. Metode: Penelitian retrospektif tentang uji tempel menggunakan The European Baseline Series of Contact Allergens yang telah dilakukan terhadap 42 pasien. Interpretasinya dicatat dan dievaluasi berdasarkan pemeriksaan klinis pasien. Hasil: Dari 42 pasien yang dilakukan uji tempel, 27 pasien (64,3%) menunjukkan hasil positif dengan satu atau lebih alergen tes. Alergen terbanyak adalah p-phenylenediamine (40,5%), fragrance mix I (16,7%), formaldehyde (14,3%). Dermatitis wajah dilaporkan pada 81,5% pasien, 97,6% terdiagnosis Dermatitis Kontak Alergika (DKA). Prevalensi tertinggi pada wanita, usia muda, dan mayoritas pelajar. Simpulan: Profil DK di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya berbeda dengan daerah lain di Indonesia, karena perbedaan pola hidup menyebabkan paparan lingkungan terhadap alergen berbeda pada tiap area. Katakunci: uji tempel, dermatitis kontak, retrospektif.
Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutan pada Bayi Bagus Haryo Kusumaputra; Iskandar Zulkarnain
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.015 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-7

Abstract

Latar belakang: Bayi memiliki risiko lebih tinggi terhadap cedera kulit, absorbsi kulit, dan infeksi kulit. Kandidiasis mukokutan pada bayi dapat berupainfeksi yang paling umum seperti kandidiasis oral dan ruam popok, sampai berupa infeksi serius yang berpotensi menjadi infeksi sistemik, seperti kandidiasis kongenital dan dermatitis fungal invasif. Infeksi mukokutan pada bayi prematur dapat menjadi permulaan infeksi sistemik sehingga membutuhkan perhatian khusus.Tujuan: Memberikan pengetahuan mengenai kandidiasis mukokutan pada bayi yang meliputi etiopatogenesis dan manifestasi klinis, sehingga diharapkan dapat memberikan pengobatan yang lebih baik. Telaah kepustakaan: Lokasi utama kontak dengan kandida pada bayi baru lahir yang tersering adalah mukokutan, termasuk saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit. Faktor predisposisi kandidiasis meliputi faktor mekanik, nutrisi, perubahan fisiologis, penyakit sistemik, dan faktor iatrogenik. Diagnosis kandidiasis mukokutan berdasarkan pemeriksaan klinis ditunjang dengan pemeriksaan mikroskop langsung dan kultur. Pengobatan kandidiasis mukokutan pada bayi meliputi pengobatan topikal dan sistemik. Golongan antijamur topikal yang digunakan pada kandidiasis antara lain imidazol dan poliene, sedangkan pengobatan antijamur sistemik meliputi flukonazol dan amfoterisin B. Simpulan: Pengobatan kandidiasis mukokutan pada bayi sebagian besar menggunakan obat topikal. Pengobatan sistemik digunakan bila terapi topikal gagal atau pada infeksi kandida yang terdapat gejala sistemik.Kata kunci: kandidiasis mukokutan, bayi, tatalaksana.
Insufisiensi Adrenal Sekunder pada Eritema Nodosum Leprosum: Studi Profil TNF-α dan Kortisol Serum Irmadita Citrashanty; Sunarso Suyoso; Rahmadewi Rahmadewi
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.361 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Beberapa studi mengemukakan bahwa peningkatan tumor necrosis factor–alpha (TNF-α) sebanding dengan derajat keparahan Eritema Nodosum Leprosum (ENL), sehingga sitokin ini dianggap sebagai seromarker. Sekresi adrenocorticotropin hormone (ACTH) meningkat akibat pelepasan sitokin proinflamasi, kemudian ACTH akan merangsang pelepasan glukokortikoid adrenal sebagai umpan balik. Apabila rangsangan sitokin ini berlangsung kronis, korteks adrenal akan mengalami kelelahan yang berakibat menurunnya serum kortisol. Pemberian kortikosteroid eksogen jangka panjang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kortisol. Tujuan: Mengevaluasi profil TNF-α dan kortisol serum pada pasien ENL yang diterapi kortikosteroid berdasarkan riwayat lamanya ENL. Metode: Dua puluh satu subjek dilakukan pemeriksaan fisik, anamnesis riwayat ENL, dan pengambilan sampel darah jam 08.00-09.00 untuk melihat kadar TNF-α dan kortisol serum. Hasil: Dari 21 sampel didapatkan rerata TNF-α serum sebesar 4,51 ± 1,7 ρg/mL. Rerata kortisol serum pada pasien dengan riwayat ENL 1-12 bulan sebesar 15,23 ± 2,3 μg/dL, riwayat ENL > 12-24 bulan sebesar 8,75 ± 4,8 μg/dL, dan riwayat ENL > 24-36 bulan sebesar 1,17 ± 0,7 μg/dL. Simpulan: Rerata penurunan kortisol serum tampak seiring dengan semakin lamanya pasien menderita ENL dan mendapatkan terapi kortikosteroid. Insufisiensi adrenal sekunder pada penelitian ini dapat disebabkan oleh pemberian kortikosteroid jangka panjang maupun adanya paparan sitokin proinflamasi kronis. Kata kunci: eritema nodosum leprosum, insufisiensi adrenal sekunder, kortikosteroid, TNF-α, kortisol.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk Mendeteksi Viabilitas Mycobacterium leprae pada Pasien Kusta Tipe Multibasiler Pascapengobatan MDT-WHO Lunni Gayatri; M. Yulianto Listiawan; Indropo Agusni
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.719 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-6

Abstract

Latar belakang: Kusta masih menjadi masalah besar di Indonesia. Penatalaksanaan dengan MDT-WHO telah menjadi regimen standar untuk pasien kusta sejak lama. Pada pasien kusta tipe multibasiler (MB), indeks bakteriologis (IB) belum mencapai nilai nol, meskipun telah menyelesaikan terapi 12 regimen. Metode Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) memiliki sensitivitas tinggi untuk mendeteksi viabilitas M. leprae. Tujuan: Mengevaluasi viabilitas M. leprae dengan metode RT-PCR pada pasien kusta tipe MB yang telah menyelesaikan regimen MDT 12 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Metode: 15 pasien kusta tipe MB yang telah menyelesaikan pengobatan MDT-WHO 12 regimen dengan IB positif dilakukan biopsi kulit untuk pemeriksaan RT-PCR. Hasil: Terdapat 13 pasien (86,7%) dengan viabilitas M. leprae positif sementara seluruh pasien tersebut (100%) memiliki Indeks Morfologis (IM) 0%. Dua belas pasien (80%) memiliki Indeks Bakteriologis 2+ dan 10 pasien diantaranya adalah pasien kusta tipe Lepromatous Leprosy (LL) polar. Delapan pasien yang memiliki viabilitas positif tidak mendapatkan kortikosteroid oral selama siklus MDT. Simpulan: Pasien kusta yang telah menyelesaikan terapi MDT dengan MI 0%, didapatkan viabilitas M. Leprae positif dengan metode RT-PCR. Spektrum klinis pasien yang ditentukan dari imunitas seluler nampaknya menjadi faktor terpenting dalam viabilitas M. leprae.Katakunci: viabilitas, M. leprae, kusta tipe multibasiler, RT-PCR.
Penggunaan Kalsineurin Inhibitor sebagai Imunomodulator Topikal pada Terapi Dermatitis Atopik Nadia Wirantari; Cita Rosita Sigit Prakoeswa
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 26 No. 2 (2014): BIKKK AGUSTUS 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (491.525 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V26.2.2014.1-7

Abstract

Latar belakang: Dermatitis atopik (DA) adalah inflamasi kronis yang kambuh-kambuhan pada kulit. Kortikosteroid topikal adalah terapi topikal lini pertama pada DA tetapi terdapat efek samping dalam penggunaan jangka panjang seperti atrofi kulit. Akhir-akhir ini kalsineurin inhibitor topikal (KIT) digunakan sebagai terapi DA. Tujuan: Memberikan pengetahuan tentang profil, mekanisme kerja, efektivitas, dan efek samping topikal kalsineurin inhibitor sebagai imunomodulator terapi DA. Tinjauan pustaka: Manifestasi klinis DA adalah gatal dan lesi kulit eksematus kronik dan kambuh-kambuhan. Pengobatan DA tergantung keparahan gejala. Kebanyakan kasus membutuhkan emolien untuk kulit kering dan kortikosteroid topikal saat kambuh. Kalsineurin inhibitor sebagai imunomodulator topikal telah disetujui oleh FDA sebagai terapi DA. Sediaan KIT terdapat dua macam, yaitu salep takrolimus sediaan 0,1% dan 0,03%, serta krim pimekrolimus 1%. Cara kerjanya melalui inhibisi kalsineurin, yang menghambat aktivasi sel T dan produksi sitokin proinflamasi. Banyak penelitian yang membandingkan KIT dengan plasebo, kortikosteroid topikal dan satu sama lain, dan telah menunjukkan efektivitas dan keamanan KIT sebagai terapi DA. Simpulan: KIT efektif dan aman untuk terapi lini kedua DA. Takrolimus dan pimekrolimus memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan plasebo, dan lebih rendah dibandingkan kortikosteroid topikal. Takrolimus lebih efektif dari pimekrolimus, dan dapat digunakan untuk DA yang lebih berat, namun dengan efek samping yang lebih besar.Kata kunci: dermatitis atopik, kalsineurin inhibitor topikal, takrolimus, pimekrolimus.

Page 1 of 2 | Total Record : 12